Fiqih Puasa Bagi Wanita Hamil dan Menyusui


 Fiqih Puasa Bagi Wanita Hamil dan Menyusui


Ibu hamil dan menyusui mendapatkan rukhsah dan boleh tidak berpuasa saat Ramadhan, dengan syarat ada kekhawatiran bahwa puasa ini akan membahayakan dirinya atau janinnya.


عن النبي "إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ". رواه أحمد وأصحاب السنن عن أنس بن مالك.


Dalam Mazhab Syafii, kewajiban Ibu hamil dan menyusui bila meninggalkan puasa Ramadhan:

1. Jika ia tidak puasa karna takut terjadi apa-apa pada dirinya, maka hanya wajib qadha puasa saja.

2. Jika ia tidak puasa karna takut terjadi apa-apa pada bayinya, maka wajib qadha dan fidyah.

3. Jika ia tidak puasa karna takut terjadi apa-apa pada dirinya dan bayinya, maka wajib qadha saja.


Syeikh Ali Jum'ah dan juga Syeikh Wahbah Zuhaili menjelaskan maksud dari 'kekhawatiran terhadap diri ibu maupun janin' yang menjadi tanda bolehnya mengambil rukhsah adalah: 

1. Pernah mencoba puasa dan merasa dirinya lemah.

2. Menurut pendapat dokter spesialis muslim yang adil.


Jumhur ulama fiqih (Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyyah dan Hanabilah) sepakat, bahwa ibu hamil dan menyusui yang meninggalkan puasa Ramadhan, tidak diperbolehkan baginya hanya membayar fidyah saja tanpa qadha. 


Karena yang boleh membayar fidyah saja tanpa qadha puasa itu adalah orang berpenyakit kronis dan tidak ada harapan untuk sembuh. Sedangkan hamil dan menyusui seperti sakit yang ada harapan sembuh, ada waktu dimana proses hamil dan menyusui akan berakhir. 


Dar Ifta Mesir menyatakan bahwa wanita yang meninggalkan puasa karena hamil, lalu hingga Ramadhan selanjutnya ia belum mampu qadha karena masih menyusui, maka ia boleh membayar qadha puasa setelah proses menyusui selesei. Bahkan jika kemudian ia hamil lagi, maka qadha puasa boleh ditunda setelah hamil dan menyusui anak kedua selesei, dan tidak ada dosa baginya. Ia juga tidak diwajibkan membayar fidyah. 

(Tidak bayar fidyah ta`khir -karena mengakhirkan qadha puasanya-, tapi tetap bayar fidyah jika tidak puasa karena khawatir janinnya menurut pendapat ashah dalam mazhab Syafii).


Berapa jumlah fidyah dan diberikan kepada siapa?

- 1 mud = 7 ons (sebagaimana yg ditetapkan oleh Kementrian agama).

- Diberikan kepada Fakir - Miskin.


*Bolehkah mengikuti pendapat yang membolehkan fidyah saja bagi ibu hamil dan menyusui?


Perkara yang sudah disepakati oleh empat madzhab, bagi kami telah selesai. Tidak membutuhkan untuk dibahas atau diutak-atik lagi. Jika ada pendapat yang menyelisihinya, maka abaikan saja. Karena menyelisihi kesepakatan empat madzhab itu seperti menyelisihi ijma’.


Ibn Hajar al-Haitami menukil perkataan Imam Subki dalam Fatawa Fiqhiyyah Kubro:

الفتاوى الفقهية الكبرى (2/ 211)

قَالَ السُّبْكِيّ: وَمَا خَالَفَ الْمَذَاهِبَ الْأَرْبَعَةَ كَمُخَالِفِ الْإِجْمَاعِ.


Al-Alamah Sayyid Alawi as-Saqqaf dalam Fawaid Makiyyah pun menyebutkan:

فقد صرح جمع من أصحابنا بأنه لا يجوز تقليد غير الأئمة الأربعة ، و عللوا ذلك بعدم الثقة بنسبتها إلى أربابها لعدم الأسانيد المانعة من التحريف و التبديل بخلاف المذاهب الأربعة فإن أئمتها بذلوا أنفسهم في تحرير الأقوال و بيان ما ثبت عن قائله وما لم يثبت فأمن أهلها من كل تغيير و تحريف و علموا الصحيح من الضعيف.


*Bukankah kebolehan membayar fidyah saja bagi ibu hamil dan menyusui adalah pendapat Ibn Abbas dan Ibn Umar?


أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ، وَأَبُو زَكَرِيَّا، وَأَبُو سَعِيدٍ، قَالُوا: حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ قَالَ: أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ قَالَ: أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ: أَنَّ ابْنَ عُمَرَ، سُئِلَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَامِلِ، إِذَا خَافَتْ عَلَى وَلَدِهَا، فَقَالَ: " تُفْطِرُ، وَتُطْعِمُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا: مُدًّا مِنْ حِنْطَةٍ " [ص:274]،


أَخْبَرَنَا أَبُو عَلِيٍّ الرُّوذْبَارِيُّ قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ دَاسَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيِّ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينَ} [البقرة: 184]، فَذَكَرَ الْحَدِيثَ، وَذَكَرَ فِيهِ ثُبُوتَهَا فِي الْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ إِذَا خَافَتَا عَلَى أَوْلَادِهِمَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا "


Riwayat ini seakan menyatakan, bahwa ibu hamil dan menyusui boleh fidyah saja tanpa qadha. Padahal tidak, konteksnya Ibn Abbas dan Ibn Umar ditanya: klo ada seorang ibu, dirinya sendiri kuat berpuasa tapi tidak bisa berpuasa karena orang lain yaitu janinnya, apa yg harus dia lakukan? Lalu Ibn Abbas dan Ibn Umar menjawab: bayarkan fidyah (karena tidakpuasa demi jiwa lain). 


Jadi, kewajiban fidyah itu dikarenakan ia tidak berpuasa karena janin, saat dirinya mampu berpuasa. Maka dari itu riwayat ini tidak menjatuhkan kewajiban qadha sebagaimana yang tertera di dalam al-Quran surah al-Baqarah: 184. Otomatis, jawaban Ibn umar ini adalah tambahan dari dzahir ayat, bukan menghapus dzahir ayat. Jadi jangan kita katakan cukup fidyah (zhan) dan menafikan qadha di dalam alquran (yakin) karena hal ini.


لأن القاعدة تقول: إذا اجتمع مانع ومقتض غلب المانع على المقتضي، فالخوف على أنفسهما مانع من وجوب الفدية والخوف على طفلهما مقتض له فغلب الأول فلا فدية عليهما مع وجوب القضاء. التقريرات السديدة ص 456.


Oleh karena itu, Imam Baihaqi dalam Makrifah Sunah wal Atsar menyebutkankan 2 riwayat tersebut di atas dalam sub bab

"الحامل والمرضع إذا خافتا على ولديهما"


Kemudian setelah itu beliau menambahkan:


 - زَادَ أَبُو سَعِيدٍ فِي رِوَايَتِهِ: قَالَ الشَّافِعِيُّ: قَالَ مَالِكٌ: وَأَهْلُ الْعِلْمِ يَرَوْنَ عَلَيْهَا مَعَ ذَلِكَ الْقَضَاءَ


8713 - قَالَ مَالِكٌ: لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: *فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ} [البقرة: 184]


Dan ternyata, beberapa kalangan salafi pun mengambil pendapat tetap wajib qadha dan tidak boleh fidyah saja.


Disebutkan dalam Fatwa Abdul Aziz bin Baz dalam fiqih puasa:


 "الحامل والمرضع حكمهما حكم المريض، إذا شق عليهما الصوم شرع لهما الفطر، وعليهما القضاء عند القدرة على ذلك، كالمريض، وذهب بعض أهل العلم إلى أنه يكفيهما الإطعام عن كل يوم: إطعام مسكين، وهو قول ضعيف مرجوح، والصواب أن عليهما القضاء كالمسافر والمريض"


Hal senada juga disebutkan dalam fatwa Syeikh Utsaimin.


Maka riwayat Ibn Abbas dan Ibn Umar tersebut harus dikompromikan dengan ayat al Baqarah 184 yang mewajibkan qadha bagi yang tidak berpuasa, tidak bisa langsung diambil hukum hanya berdasarkan satu riwayat itu saja. Begitu pula dengan riwayat Ibn Umar atau nash2 manapun, harus digabungkan satu sama lain. Tidak boleh mengambil hukum berdasarkan satu dalil saja. Oleh karena itu ambil saja 'produk' hukum yang sudah jadi dari salah satu dari 4 mazhab fiqih yang muktabar melalui jalur keilmuan yang valid.


Wallahu Ta'ala A'la wa A'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baca ini dijamin sholatmu bakal khusyu